Header Ads

ad728
  • Sekilas Berita

    Belajar dari Kasus “Dugaan” Penistaan Agama

    Akhir-akhir ini, telinga, mata, dan lidah kita dimanjakan dengan berita kasus penistaan agama yang mendudukkan Gubernur DKI Jakarta Non Aktif, Ir. Basuki Thahaja Purnama sebagai tersangka dan sudah dalam proses persidangan. Berbagai pro dan kontra atas dukungan kepada pria yang lebih akrab disapa Ahok tersebut tak luput dari pembicaraan kita setiap hari.

    Terlepas dari “Aksi damai 411” dan “Aksi Super Damai 212”, mari kita menengok terlebih dahulu kutipan sambutan Ahok di Kepulauan Seribu seperti yang dibacakan oleh Penuntut Umum Ali Mukartono yang tertuang dalam surat dakwaan nomor register perkara idm 147/jkt.ut/12.201 sebagai berikut:

    “Ini pemilihan kan dimajuin, jadi kalau saya tidak terpilih pun saya berhentinya Oktober 2017. Jadi kalau program ini kita jalankan dengan baik pun, bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur, jd cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi enggak usah pikiran ah nanti kalo enggak kepilih pasti Ahok programnya bubar. Enggak, saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, ya kan, dibohongi pakai surah Al Maidah 51, macam-macam itu, itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka, karena dibodohin gitu, ya engggak apa-apa, karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu enggakusah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa milih ahok, enggak sama Ahok nih, tapi programnya gwkalau terima enggak enak dong, jadi utang budi, jangan bapak ibu punya perasaan enggak enak, nanti mati pelan-pelan loh, kena stroke”.


    Dari ucapan tersebut di atas, oleh sebagian besar masyarakat kita, menganggapnya bahwa ucapan Ahok yang telah mendudukkan atau menempatkan Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi atau membodohi masyarakat dalam rangka pemilihan Gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai penodaan terhadap Al Quran. Pandangan lain yang muncul bahwa ucapan Ahok tersebut termasuk penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.

    Sementara itu, dalam pembelaannya. Ahok justru membantah pandangan tersebut di atas. Menurutnya, hanya orang tersebut dan Tuhan lah yang mengetahui apa yang menjadi niat pada saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu. Ahok pun mengaku bahwa ucapannya bukan dimaksudkan untuk menfasirkan Surah Al-Maidah ayat 51 apalagi berniat menista agama Islam, dan juga berniat untuk menghina para ulama. Namun, ucapan tersebut dimaksudkan untuk para oknum politisi yang memanfaatkan Surah Al-Maidah ayat 51 secara tidak benar karena tidak mau bersaing secara sehat dalam persaingan pilkada.

    Dari dua pandangan yang berbeda tersebut di atas, sebagai pelaku pendidikan mestinya dijadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa betapa kayanya perbendaharaan bahasa yang dimiliki oleh bangsa ini. Satu kalimat ataupun cukup dengan satu kata saja, bisa diinterpretasikan kebeberapa maksud atau tujuan yang berbeda. Kekayaan perbendaharaan kosa kata di Indonesia bisa dibuktikan pada salah kata dari bahasa Inggris “rice” yang dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan padi, gabah, beras, dan nasi yang masing-masing memiliki wujud yang berbeda.

    Namun, dari kekayaan perbendaharaan bahasa yang memungkinkan lahirnya interprestasi yang berbeda-beda itupulalah, penulis mengajak pada diri sendiri maupun kepada khalayak pembaca untuk belajar dari kasus Ahok tersebut. Setidaknya, kita menjaga lisan dan tulisan kita dalam bertutur kepada khalayak umum.

    Penulis sepakat dengan Ahok, bahwa hanya diri kita dan Allah yang mengetahui maksud dari ucapan maupun perbuatan kita. Namun, dilain sisi banyak saudara-saudara kita yang bisa saja mengartikan lain dari ucapan dan perbuatan yang kita lakukan. Apalagi jika memang bahasa yang dilontarkan mengandung makna ambigu.

    Yang lebih parah lagi, jika interpretasi pribadi terhadap ucapan seseorang dianggapnya yang paling benar. Sehingga memungkinkan menyulut emosi dan lahirlah pertentangan-pertentangan yang kemudian bisa saja memaksakan kehendak. Bahkan ada oknum yang menganggap bahwa pendukung dan pembela Ahok adalah orang kafir. Antara sesama manusia sudah saling mengkafirkan. Sementara, kafir atau berimannya seseorang adalah hak Allah.

    Tidak ada untungnya bagi penulis membela Ahok, dan memang tulisan ini tidak bermaksud untuk membela Ahok. Biarkan kasus tersebut diputuskan melalui pengadilan. Proses hukum tersebut juga sebagai bahan edukasi bagi kita dalam menjaga lisan dan tulisan.

    Dalam Al Quran, kita dianjurkan untuk bersabar. Kita cukup menanti keputusan dari pengadilan. Dalam kasus tersebut, kita berharap tidak ditunggangi oleh kepentingan apapun. Sehingga proses edukasi untuk masyarakat awam bisa berjalan dan tepat sasaran. Dengan demikian tidak ada yang dirugikan dalam kasus tersebut. Biarkan Ahok mempertanggungjawabkan lisannya, bukankah lisan yang telah diucapkan tidak bisa ditarik kembali.

    Kasus Ahok, janganlah kita politisir ke ranah lain-lain. Termasuk di antaranya, dengan menyangkutpautkan garis keturunan dan agama yang dianut oleh Ahok. Dalam wikipedia dituliskan bahwa “Purnama merupakan warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen Protestan pertama yang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta pernah dijabat oleh pemeluk agama Kristen Katolik, Henk Ngantung (Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965)”.

    Mari kita nikmati kebhinekaan yang ada di Republik ini. Dengan munculnya kasus Ahok tersebut, kita masih bisa menyaksikan betapa kokohnya persatuan Umat Islam dari Sabang sampai Marauke dalam menggalang kebersamaan melalui aksi damai. Sebelumnya, justru oleh beberapa pihak dianggapnya persatuan umat Islam melemah karena seringnya muncul perbedaan pendapat dalam penentuan hari raya.

    Mengakhiri tulisan ini, kembali kita harus belajar dari kasus tersebut. Sebesar apapun emosi yang kita miliki, sebesar apapun semangat yang kita punya. Namun, tetap harus menjaga lisan dan tulisan kita. Karena, lisan dan tulisan kita, menjadi karakter ciri khas pribadi yang kita miliki. Lisan dan tulisan tersebut, yang kemudian akan kita pertanggungjawabkan di kemudian hari.

    Semoga kita semua, bisa terhindar dari fitnah lisan dan tulisan yang membahayakan ukhuwah. ***

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728