Header Ads

ad728
  • Sekilas Berita

    Ternyata Begini Rasanya Reaktif Hasil Rapid Test

    Hasil rapid test Covid-19 reaktif bukanlah sebuah malapetaka. Rapid test sebagai alat screening awal untuk mendeteksi Covid-19 bukanlah penentu seseorang positif atau negatif corona. Tes ini dilakukan hanya untuk melihat keberadaan antibodi di dalam tubuh yang bisa menjadi dugaan awal bahwa seseorang positif Covid-19.

    Rapid test adalah metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi, yakni IgM dan IgG. Antibodi tersebut akan dibentuk oleh tubuh jika ada paparan infeksi virus corona. Antibodi itu akan berperan dalam melawan virus corona.

    Nah, kalau antibodi tersebut terdeteksi ada di dalam tubuh seseorang, berarti menunjukkan bahwa tubuh orang tersebut pernah terpapar atau terinfeksi virus corona. Namun, pembentukan antibodi ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Bahkan bisa sampai beberapa minggu. Maka dari itu, tingkat keakuratan hasil rapid test dalam mendeteksi kemungkinan adanya paparan atau infeksi virus corona di dalam tubuh seseorang melalui antibodi terbilang cukup rendah.

    Jadi, pada dasarnya hasil rapid test tidak bisa dijadikan bahan untuk mendiagnosa apakah seseorang terinfeksi virus corona dan menderita COVID-19 atau tidak.

    Saya kemudian teringat tanggal 23 Juli 2020 yang lalu. Denyut jantung berdetak kencang menantikan hasil rapid test yang saya lakukan. Maklum, saat itu aktivitas padat ditambah dengan sempat drop, membuat hati cemas menantikan hasil rapid test sambil berdoa semoga hasilnya non reaktif. Maklum, ini adalah rapid tes pertama yang dilakukan. Alhamdulillah, setelah hasil pemeriksaan laboratorium keluar, hasilnya Non Reaktif.

    Berbagai aktivitas kemudian tetap dilakukan. Bahkan sejak itu, saya sudah membuat beberapa konsep penerapan protokol kesehatan di satuan pendidikan jika tatap muka di satuan pendidikan dilakukan di masa pandemi covid-19. Termasuk, beberapa persiapan pelaksanaan tatap muka disiapkan dan difasilitasi lebih awal. Ya, sebuah tanggung jawab yang harus saya pikul sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.

    31 Agustus 2020, saya kembali menjalani rapid test. Berawal dengan membaca surat Pemerintah Kecamatan yang dishare melalui salah satu grup WA. Membaca ada jadwal di Sekolah, saya kemudian meneruskan surat tersebut ke grup sekolah sembari bertanya apakah sudah masuk di Tata Usaha atau belum? Karena sifatnya penting, diakhir percakapan grup WA, saya sampaikan ke seluruh Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk datang mengikuti screening.

    Tiba di sekolah, saya memang tidak langsung mengikuti screening. Selain ada beberapa aktivitas lain, juga masih sempat bincang-bincang dengan beberapa rekan sejawat. Namun ketika hasil rapid test operator dapodik dinyatakan reaktif, saya langsung berdiri tanpa perintah meminta diri untuk diperiksa.

    Ya, saya memiliki riwayat interaksi dengan operator dapodik. Selama ini, antara saya dengan operator dapodik memang intens berinteraksi baik secara langsung maupun lewat telepon. Karena, kurikulum dengan dapodik harus jalan beriringan demi kemaslahatan satuan pendidikan dan seluruh warga sekolah. Interaksi tatap muka terakhir kami tepatnya 4 hari yang lalu. Itu berlangsung sekitar 30 menit dan berlanjut lewat WA setelah sampai di rumah masing-masing untuk rencana pemberian kuota internet kepada Peserta Didik.

    Dimenit ke-8 proses menunggu hasil, saya masih sempat bercanda ke Petugas kalau sudah muncul dua garis. Namun, oleh petugas dijawab masih satu. Bahkan setelah dihentikan dimenit ke-10, petugas mendiagnosa non reaktif. Disaat alat tes sudah ditempat sampah, saya kemudian mengambil alat tersebut dan membawanya berjemur sambil memperhatikan hasilnya. 30 menit kemudian, tiba-tiba muncul garis ke-2. Petugas kemudian, koordinasi dengan Puskesmas dan akhirnya dinyatakan reaktif.

    Sebuah keputusan yang harus diterima dan dijalani dengan ikhlas. Sayangnya, ada beberapa orang yang tahu dengan hasil tersebut tiba-tiba berubah. Menghindar untuk jaga jarak adalah hal yang dimaklumi. Tapi yang lebih aneh ditelepon pun tidak diangkat, di chat hanya di read. Ada yang lagi yang sempat mengangkat telepon, namun diucapkan sebuah kalimat jika takut berinteraksi dengan saya.

    “Ternyata, begini rasanya reaktif hasil rapid test”. Untung masih ada keluarga yang memberikan support dan meyakinkan bahwa rapid test bukan penentu dari terkonfirmasinya seseorang pada Covid-19

    Dalam sebuah perenungan, 2 beban yang membuat saya gelisah dengan hasil rapid test ini. Yang pertama, dengan berubahnya beberapa orang kesaya, membuat saya berpikir. Jika saya benar-benar terpapar covid-19, orang berkata apa kesaya?. Bagaimana tidak, saya yang setiap saat mendengung-dengungkan untuk mematuhi protokol kesehatan. Saya yang berinisiatif menjadikan sekolah sebagai Kawasan Wajib Protokol Covid-19, membeli thermogun, menyiapkan masker untuk warga sekolah, mengusulkan ke Kepala Sekolah untuk membentuk Tim Pencegahan Penyebaran Covid-19 di satuan pendidikan, bahkan 4 hari yang lalu saya presentasikan melalui rapat dihadapan Pendidik dan Tenaga Kependidikan tentang protokol kesehatan di satuan pendidikan. Termasuk memaparkan protokol kesehatan bagi peserta didik mulai meninggalkan rumah hingga kembali ke rumahnya jika pelaksanaan tatap muka di Sekolah sudah mulai dilaksanakan. Namun ternyata saya yang harus terpapar. Bagi mereka, mungkin akan beranggapan bahwa saya tidak menerapkan protokol kesehatan.

    Yang kedua, saya memikirkan 2 orang Guru yang juga berinteraksi dengan saya 4 hari yang lalu. Ke-2 Guru ini, sama dengan operator dapodik. Masing-masing memiliki riwayat perjalanan, bahkan keduanya lintas provinsi. Sayangnya ke-2-nya tidak menjalani rapid test. Sejujurnya saya berpikir, kalaupun saya positif terkonfirmasi. Maka tipis rasanya karena interaksi saya dengan operator dapodik. Sebab saat itu, diantara kami masih menjaga jarak dalam berinteraksi. Namun untuk 2 Guru ini, saya ingat pernah sangat dekat. Bukan karena saya tidak menjaga jarak, melainkan mereka yang mendatangi saya dengan keperluannya masing-masing. Tapi, khusus untuk ini. Biarlah saya berpikir positif dengan mengacu pada prinsip praduga tak menyebarkan virus.

    Kenapa saya harus menduga-duga? Namanya saja merenung, pasti akan terlintas sebuah dugaan. Apalagi, jika saya tidak ada keperluan mendesak di luar rumah, saya lebih banyak bekerja di rumah. Termasuk, disaat saya sampai dirumah 4 hari yang lalu, tidak pernah saya tinggalkan rumah kecuali hanya untuk Shalat Jumat di Masjid. Selebihnya menghabiskan waktu di rumah meski tiga malam terakhir harus begadang hingga pagi untuk menyelesaikan beberapa berkas kurikulum dan persiapan workshop. Perenungan ini yang kemudian mengantar saya istirahat berharap keesokan harinya imun bisa membaik.

    1 September 2020, hujan diawal September mengantarkan saya membaca pedoman pencegahan dan pengendalian covid-19 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Buku ini adalah revisi ke-5 terbitan Juli 2020. Disaat mengisi asupan karbohidrat untuk tubuh, tiba-tiba masuk sebuah telepon dari Kepala Puskesmas. Dari balik telepon, sebuah informasi untuk segera menjalani tes SWAB. Saya kemudian meminta untuk menjalani rapid test ulang. Alhamdulillah disetujui. Namun, hasil tetap reaktif.

    Dua hari terakhir, dua kali pula menjalani rapid test, dan kedua-duanya dinyatakan reaktif. Sebuah hasil yang menguras pikiran dan bisa menurunkan imun. Namun harus tegar dan ikhlas menjalaninya sembari berdoa dan berharap hasil tes SWAB yang rencananya dijalani besok bisa NEGATIF. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.

    Tulisan ini, sengaja saya ekspos untuk menjadi perhatian bagi kita semua agar tetap menjaga kesehatan dan menerapkan protokol kesehatan. Jika kita terpapar disaat menerapkan protokol kesehatan, itu ujian. Namun, jika kita terpapar disaat tidak menerapkan protkol kesehatan, sama saja kita yang mengundang virus itu bersemayam dalam tubuh.

     

     

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728