Ternyata Begini Rasanya Reaktif Hasil Rapid Test
Hasil rapid test Covid-19 reaktif bukanlah sebuah
malapetaka. Rapid test sebagai alat screening awal untuk mendeteksi Covid-19
bukanlah penentu seseorang positif atau negatif corona. Tes ini dilakukan hanya
untuk melihat keberadaan antibodi di dalam tubuh yang bisa menjadi dugaan awal
bahwa seseorang positif Covid-19.
Rapid test adalah metode skrining awal untuk
mendeteksi antibodi, yakni IgM dan IgG. Antibodi tersebut akan dibentuk oleh
tubuh jika ada paparan infeksi virus corona. Antibodi itu akan berperan dalam
melawan virus corona.
Nah, kalau antibodi tersebut terdeteksi ada di dalam
tubuh seseorang, berarti menunjukkan bahwa tubuh orang tersebut pernah terpapar
atau terinfeksi virus corona. Namun, pembentukan antibodi ini memerlukan waktu
yang tidak sebentar. Bahkan bisa sampai beberapa minggu. Maka dari itu, tingkat
keakuratan hasil rapid test dalam mendeteksi kemungkinan adanya paparan atau
infeksi virus corona di dalam tubuh seseorang melalui antibodi terbilang cukup
rendah.
Jadi, pada dasarnya hasil rapid test tidak bisa
dijadikan bahan untuk mendiagnosa apakah seseorang terinfeksi virus corona dan
menderita COVID-19 atau tidak.
Saya kemudian teringat tanggal 23 Juli 2020 yang lalu.
Denyut jantung berdetak kencang menantikan hasil rapid test yang saya lakukan.
Maklum, saat itu aktivitas padat ditambah dengan sempat drop, membuat hati
cemas menantikan hasil rapid test sambil berdoa semoga hasilnya non reaktif. Maklum,
ini adalah rapid tes pertama yang dilakukan. Alhamdulillah, setelah hasil pemeriksaan
laboratorium keluar, hasilnya Non Reaktif.
Berbagai aktivitas kemudian tetap dilakukan. Bahkan
sejak itu, saya sudah membuat beberapa konsep penerapan protokol kesehatan di
satuan pendidikan jika tatap muka di satuan pendidikan dilakukan di masa
pandemi covid-19. Termasuk, beberapa persiapan pelaksanaan tatap muka disiapkan
dan difasilitasi lebih awal. Ya, sebuah tanggung jawab yang harus saya pikul
sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.
31 Agustus 2020, saya kembali menjalani rapid test.
Berawal dengan membaca surat Pemerintah Kecamatan yang dishare melalui salah
satu grup WA. Membaca ada jadwal di Sekolah, saya kemudian meneruskan surat
tersebut ke grup sekolah sembari bertanya apakah sudah masuk di Tata Usaha atau
belum? Karena sifatnya penting, diakhir percakapan grup WA, saya sampaikan ke
seluruh Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk datang mengikuti screening.
Tiba di sekolah, saya memang tidak langsung mengikuti screening.
Selain ada beberapa aktivitas lain, juga masih sempat bincang-bincang dengan
beberapa rekan sejawat. Namun ketika hasil rapid test operator dapodik dinyatakan
reaktif, saya langsung berdiri tanpa perintah meminta diri untuk diperiksa.
Ya, saya memiliki riwayat interaksi dengan operator
dapodik. Selama ini, antara saya dengan operator dapodik memang intens
berinteraksi baik secara langsung maupun lewat telepon. Karena, kurikulum
dengan dapodik harus jalan beriringan demi kemaslahatan satuan pendidikan dan
seluruh warga sekolah. Interaksi tatap muka terakhir kami tepatnya 4 hari yang
lalu. Itu berlangsung sekitar 30 menit dan berlanjut lewat WA setelah sampai di
rumah masing-masing untuk rencana pemberian kuota internet kepada Peserta
Didik.
Dimenit ke-8 proses menunggu hasil, saya masih sempat
bercanda ke Petugas kalau sudah muncul dua garis. Namun, oleh petugas dijawab
masih satu. Bahkan setelah dihentikan dimenit ke-10, petugas mendiagnosa non
reaktif. Disaat alat tes sudah ditempat sampah, saya kemudian mengambil alat
tersebut dan membawanya berjemur sambil memperhatikan hasilnya. 30 menit
kemudian, tiba-tiba muncul garis ke-2. Petugas kemudian, koordinasi dengan Puskesmas
dan akhirnya dinyatakan reaktif.
Sebuah keputusan yang harus diterima dan dijalani
dengan ikhlas. Sayangnya, ada beberapa orang yang tahu dengan hasil tersebut
tiba-tiba berubah. Menghindar untuk jaga jarak adalah hal yang dimaklumi. Tapi yang
lebih aneh ditelepon pun tidak diangkat, di chat hanya di read. Ada yang lagi
yang sempat mengangkat telepon, namun diucapkan sebuah kalimat jika takut
berinteraksi dengan saya.
“Ternyata, begini rasanya reaktif hasil rapid test”.
Untung masih ada keluarga yang memberikan support dan meyakinkan bahwa rapid
test bukan penentu dari terkonfirmasinya seseorang pada Covid-19
Dalam sebuah perenungan, 2 beban yang membuat saya
gelisah dengan hasil rapid test ini. Yang pertama, dengan berubahnya beberapa
orang kesaya, membuat saya berpikir. Jika saya benar-benar terpapar covid-19,
orang berkata apa kesaya?. Bagaimana tidak, saya yang setiap saat
mendengung-dengungkan untuk mematuhi protokol kesehatan. Saya yang berinisiatif
menjadikan sekolah sebagai Kawasan Wajib Protokol Covid-19, membeli thermogun,
menyiapkan masker untuk warga sekolah, mengusulkan ke Kepala Sekolah untuk
membentuk Tim Pencegahan Penyebaran Covid-19 di satuan pendidikan, bahkan 4
hari yang lalu saya presentasikan melalui rapat dihadapan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan tentang protokol kesehatan di satuan pendidikan. Termasuk memaparkan
protokol kesehatan bagi peserta didik mulai meninggalkan rumah hingga kembali
ke rumahnya jika pelaksanaan tatap muka di Sekolah sudah mulai dilaksanakan.
Namun ternyata saya yang harus terpapar. Bagi mereka, mungkin akan beranggapan
bahwa saya tidak menerapkan protokol kesehatan.
Yang kedua, saya memikirkan 2 orang Guru yang juga
berinteraksi dengan saya 4 hari yang lalu. Ke-2 Guru ini, sama dengan operator
dapodik. Masing-masing memiliki riwayat perjalanan, bahkan keduanya lintas
provinsi. Sayangnya ke-2-nya tidak menjalani rapid test. Sejujurnya saya
berpikir, kalaupun saya positif terkonfirmasi. Maka tipis rasanya karena
interaksi saya dengan operator dapodik. Sebab saat itu, diantara kami masih
menjaga jarak dalam berinteraksi. Namun untuk 2 Guru ini, saya ingat pernah
sangat dekat. Bukan karena saya tidak menjaga jarak, melainkan mereka yang
mendatangi saya dengan keperluannya masing-masing. Tapi, khusus untuk ini. Biarlah
saya berpikir positif dengan mengacu pada prinsip praduga tak menyebarkan
virus.
Kenapa saya harus menduga-duga? Namanya saja merenung,
pasti akan terlintas sebuah dugaan. Apalagi, jika saya tidak ada keperluan
mendesak di luar rumah, saya lebih banyak bekerja di rumah. Termasuk, disaat
saya sampai dirumah 4 hari yang lalu, tidak pernah saya tinggalkan rumah
kecuali hanya untuk Shalat Jumat di Masjid. Selebihnya menghabiskan waktu di
rumah meski tiga malam terakhir harus begadang hingga pagi untuk menyelesaikan
beberapa berkas kurikulum dan persiapan workshop. Perenungan ini yang kemudian
mengantar saya istirahat berharap keesokan harinya imun bisa membaik.
1 September 2020, hujan diawal September mengantarkan
saya membaca pedoman pencegahan dan pengendalian covid-19 yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI. Buku ini adalah revisi ke-5 terbitan Juli 2020.
Disaat mengisi asupan karbohidrat untuk tubuh, tiba-tiba masuk sebuah telepon
dari Kepala Puskesmas. Dari balik telepon, sebuah informasi untuk segera menjalani
tes SWAB. Saya kemudian meminta untuk menjalani rapid test ulang. Alhamdulillah
disetujui. Namun, hasil tetap reaktif.
Dua hari terakhir, dua kali pula menjalani rapid test,
dan kedua-duanya dinyatakan reaktif. Sebuah hasil yang menguras pikiran dan
bisa menurunkan imun. Namun harus tegar dan ikhlas menjalaninya sembari berdoa
dan berharap hasil tes SWAB yang rencananya dijalani besok bisa NEGATIF. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Tulisan ini, sengaja saya ekspos untuk menjadi
perhatian bagi kita semua agar tetap menjaga kesehatan dan menerapkan protokol
kesehatan. Jika kita terpapar disaat menerapkan protokol kesehatan, itu ujian.
Namun, jika kita terpapar disaat tidak menerapkan protkol kesehatan, sama saja
kita yang mengundang virus itu bersemayam dalam tubuh.