Header Ads

ad728
  • Sekilas Berita

    Refleksi Milad ke-33 SMA Negeri 4 Wajo

    Tiga puluh tiga tahun bukan sekadar angka. Ia adalah lambang kedewasaan, pencapaian, jejak perjalanan panjang, dan bukti ketangguhan sebuah institusi dalam menghadapi zaman yang terus berubah. Bagi sebagian orang, SMA Negeri 4 Wajo mungkin hanyalah nama sebuah sekolah. Tapi bagi saya, ia adalah nadi hidup, ruang tumbuh, dan tempat pulang. Saya menyebut diri saya jiwa yang dibesarkan Kampus Cemara, karena hampir seluruh fase kehidupan saya, baik sebagai peserta didik, tenaga kependidikan, guru, hingga pengelola kebijakan, berakar dari tanah yang sama, tanah pendidikan yang membentuk saya menjadi seperti hari ini.

    Saya pernah duduk sebagai peserta didik di sekolah ini. Dari seragam putih biru yang berubah menjadi putih abu-abu, saya tumbuh bersama atmosfer pendidikan yang sederhana namun sarat makna. Tiga tahun saya habiskan di ruang-ruang kelasnya, berlari di halaman, mencatat pelajaran dari guru-guru yang telaten dan sabar. Dari sekolah inilah saya belajar banyak hal yang tak tertulis dalam buku, namun tertanam dalam sikap dan nilai hidup saya hari ini. Nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan kekeluargaan yang saya rasakan saat itu menjadi fondasi karakter yang terus saya bawa hingga hari ini.

    Saya menyelesaikan pendidikan di sekolah ini pada tahun 2002, saat namanya masih SMAN 1 Maniangpajo. Setahun setelah itu, saya kembali. Kali ini bukan sebagai peserta didik, melainkan sebagai pegawai Tata Usaha dengan tugas sebagai operator komputer. Tujuh tahun saya duduk di balik meja dan monitor, membantu mengelola data, menyusun administrasi, dan menyokong sistem yang menopang jalannya roda sekolah. Saya melihat langsung dinamika sekolah dari balik layar. Hal-hal yang mungkin tak terlihat oleh peserta didik atau guru, namun sangat menentukan kelancaran proses pendidikan. Meski tak berdiri di depan kelas, saya merasa turut serta dalam denyut kehidupan sekolah. Di sanalah saya menyadari bahwa pendidikan berjalan berkat harmoni antara yang tampak dan tak tampak. Tata Usaha bukan hanya tulang punggung teknis, tetapi bagian tak terpisahkan dari wajah layanan pendidikan.

    Pada tahun 2005, saya diberi amanah baru sebagai Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dunia saya terbagi dua, di satu sisi, saya masih menjalankan tugas di ruang kantor; di sisi lain, saya harus bergeser ke ruang kelas. Saya mulai mengenal dunia mengajar, mendampingi peserta didik menjelajahi dunia digital yang kala itu masih dalam tahap perkenalan di banyak sekolah. Saya masih ingat satu momen jenaka, saat seorang peserta didik mengira “internet” adalah sejenis makanan karena terbayang kata “inter mie”. Namun, dari sanalah saya melihat antusiasme yang polos, kemurnian semangat belajar yang belum terkontaminasi ambisi, dan rasa ingin tahu yang luar biasa.

    Di tahun yang sama, saya dipercaya menjadi Pengurus Komite Sekolah mewakili alumni, sebuah kepercayaan yang saya jalani hingga 2017. Dari posisi ini, saya belajar menyatukan kepentingan orang tua, sekolah, dan masyarakat. Saya belajar bahwa mendidik anak bukan hanya tugas guru, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh ekosistem pendidikan. Selama 12 tahun, saya menyaksikan dari sisi masyarakat bagaimana peran orang tua dan komunitas sangat vital dalam mendukung kemajuan pendidikan. Saya terkadang ikut berdiskusi, berdebat, dan bekerja sama dengan beberapa pihak demi kepentingan anak-anak kita. Dari sini saya menyadari bahwa sekolah yang kuat adalah sekolah yang tumbuh bersama masyarakatnya. Sekolah yang kuat bukan hanya ditopang oleh guru yang hebat, tetapi oleh masyarakat yang merasa memiliki dan terlibat secara aktif.

    Tahun 2009, saya diangkat sebagai CPNS dan ditempatkan di SMAN 1 Pitumpanua. Namun hati saya belum benar-benar bisa meninggalkan sekolah ini kala itu. Saya tetap mengajar di SMAN 1 Maniangpajo karena diminta langsung oleh kepala sekolah kala itu. Dan pada tahun 2013, saya kembali secara penuh. Saat itu, saya tidak hanya kembali sebagai guru, tetapi sebagai bagian dari sejarah dan pembangunan masa depan sekolah ini.

    Pada tahun 2015, saya dipercaya sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Hanya 1 minggu amanah tersebut saya pegang, kemudian mengundurkan diri dengan alasan yang bisa diterima. Namun, pada tahun berikutnya, tugas tambahan tersebut kembali saya emban secara bertahap dan dinamis hingga Maret 2024. Dalam periode tersebut, saya ikut merancang arah pembelajaran, membimbing guru-guru menjalankan Kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka, menyusun program inovasi, dan mengawal peserta didik menghadapi berbagai tantangan zaman. Saya terlibat dalam proses sekolah melewati masa-masa sulit pandemi COVID-19, menginisiasi pembelajaran daring, dan menciptakan sejumlah inovasi yang memperkuat peran sekolah sebagai pusat belajar yang adaptif.

    Sebagian ide dan kontribusi saya masih bisa dilihat hingga hari ini. Mulai dari narasi sejarah sekolah, logo resmi SMA Negeri 4 Wajo, jargon “SMA 4 Wajo Lebih Bisa”, hingga inisiatif penciptaan Mars Kampus Cemara yang kini menjadi semacam identitas batin sekolah ini. Inovasi Asikolapi, USB juga masih dilaksanakan hingga saat ini. Bagi saya, itu bukan sekadar simbol, tapi representasi cinta dan komitmen saya pada sekolah yang telah membentuk saya.

    Kini, saya kembali sepenuhnya sebagai guru, sebuah posisi yang sudah lama saya dambakan. Di posisi ini, saya menyaksikan betapa hebatnya guru-guru kita, dan betapa pentingnya mempertahankan semangat kolaborasi dan inovasi di sekolah ini. SMA Negeri 4 Wajo harus tetap menjadi ruang tumbuh yang sehat dan manusiawi. Sekolah yang tak hanya mengejar angka, tapi juga membentuk akhlak, karakter, dan keberanian untuk bermimpi besar.

    Dari posisi saya saat ini, mengamati dan mendampingi peserta didik dengan semangat yang sama. Alhamdulillah, dalam kurung waktu 40 minggu terakhir ini, 2.352 medali dipersembahkan untuk Kampus Cemara. 1.603 medali diantaranya diperoleh dari mata pelajaran Informatika. Prestasi tersebut, diperoleh dari ajang tingkat nasional yang diikuti oleh Peserta Didik SMA Negeri 4 Wajo setiap minggunya berawal dari kesepakatan saya dengan mereka di dalam kelas.

    Dari ruang kelas itulah, saya menyaksikan betapa besar potensi yang dimiliki anak-anak kita, betapa banyak mimpi yang mereka bawa. Namun, saya juga merasakan tantangan yang tak kecil. Seperti pohon yang mulai kehilangan daun-daunnya menjelang musim kering, sekolah kita pun kadang menunjukkan gejala letih, sebuah pertanda bahwa kita perlu menyiramnya kembali dengan semangat, kerja bersama, dan visi jangka panjang.

    Di usia ke-33 ini, SMA Negeri 4 Wajo berdiri di persimpangan. Kita memiliki sejarah yang membanggakan, jejak inovasi yang panjang, dan jaringan alumni yang kuat. Namun, semua itu hanya akan bermakna jika kita mampu menjadikannya pijakan untuk melompat lebih tinggi, bukan sekadar nostalgia. Sekolah ini harus tetap menjadi ruang yang memanusiakan, yang tidak sekadar mengejar angka dan prestasi, tapi juga menumbuhkan akhlak, karakter, dan keberanian untuk bermimpi besar.

    Di usia ke-33 tahun SMA Negeri 4 Wajo ini, saya punya harapan besar. Saya ingin melihat Kampus Cemara terus tumbuh tanpa kehilangan jati dirinya. Saya ingin melihat Kampus Cemara kembali bersinar dengan cahaya semangat kolektif. Sekolah ini harus tetap menjadi rumah yang ramah, lembaga yang berani menjawab tantangan zaman, dan tempat para guru berkarya dengan hati, peserta didik belajar dengan gembira, dan masyarakat merasa terlibat penuh. Saya ingin melihat inovasi tidak hanya menjadi jargon, tapi benar-benar hadir dalam praktik pembelajaran yang menyenangkan dan membebaskan.

    Saya bersyukur telah menjadi saksi, pelaku, dan penjaga jejak perjalanan SMA Negeri 4 Wajo. Tiga puluh tiga tahun bukanlah akhir, tapi babak baru dari perjalanan panjang. Dan saya percaya, jika kita bersatu menjaga api semangat ini, Kampus Cemara akan terus tumbuh dan menjadi cahaya bagi masa depan.

    Dirgahayu, Kampus Cemara tercinta. Teruslah tumbuh, dan teruslah jadi cahaya.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728