Membimbing Generasi Tangguh di Era AI: Refleksi Pelatihan Koding dan Kecerdasan Artifisial
Fenomena “generasi stroberi” yaitu anak-anak yang tampak manis, rapi, dan berbakat dipermukaan, namun rapuh saat menghadapi tekanan, menjadi alarm bagi dunia pendidikan. Terlalu lama fokus diarahkan pada pencapaian akademik tanpa memperkuat daya tahan mental anak. Di tengah era digital yang serba instan, tugas guru tak hanya mencerdaskan, tetapi juga menyiapkan generasi yang mampu bertahan, bangkit, dan berkembang dalam situasi kompleks. Dan di sinilah kebijakan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KKA) memberi celah emas untuk membentuk ketangguhan itu.
Sebagai bagian dari upaya peningkatan kapasitas pendidik dalam menjawab tantangan tersebut, pada tanggal 7 hingga 11 Juli 2025 telah dilaksanakan kegiatan IN-1 Pelatihan Koding dan Kecerdasan Artifisial yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Universitas Muhammadiyah Makassar. Kegiatan ini berlangsung di SMA Negeri 3 Wajo dan diikuti oleh guru-guru utusan dari satuan pendidikan jenjang SMA/SMK yang menjadi sasaran program Pembelajaran Mendalam serta penguatan literasi Koding dan Kecerdasan Artifisial. Kegiatan ini menjadi wahana penting dalam mempersiapkan pendidik agar mampu membimbing murid tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pribadi tangguh yang sadar akan batas, risiko, dan tanggung jawab penggunaannya.
Koding dan KA bukan sekadar keterampilan teknologi, tetapi medan latihan berpikir logis, menyusun solusi, menerima error, dan bangkit dari kegagalan. Di dunia pemrograman, kesalahan adalah guru terbaik. Tak ada “satu klik langsung jadi”. Murid diajak untuk mencoba, gagal, memperbaiki, lalu mencoba lagi. Ini adalah pelajaran kehidupan yang membentuk mentalitas pejuang, bukan penghindar tantangan. Ketika pembelajaran koding dikemas dengan pendekatan menyenangkan dan reflektif, maka sesungguhnya sedang dilatih bukan hanya berpikir komputasional, tetapi juga daya tahan emosional dan ketangguhan karakter.
Peran guru dalam konteks ini menjadi sangat krusial, bukan sekadar fasilitator konten, tetapi pelatih karakter. Guru perlu hadir sebagai pembimbing yang memberi ruang aman untuk gagal, tapi juga cukup berani untuk tidak selalu menyelamatkan. Saat murid menghadapi error di layar, bukan kecepatan memberi jawaban yang penting, melainkan keberanian mengajak mereka berpikir ulang, berdiskusi, bahkan merayakan error sebagai bagian dari proses belajar. Dengan cara ini, koding tidak berhenti pada hasil, tetapi menjadi perjalanan pembentukan karakter.
Demikian pula dengan pembelajaran kecerdasan artifisial, yang membuka peluang besar untuk menanamkan etika, tanggung jawab, dan kesadaran kritis. Anak-anak perlu dibimbing agar tidak semata-mata mengandalkan KA sebagai “penjawab segalanya”, melainkan sebagai alat bantu yang harus dipahami, dikritisi, dan digunakan secara bijaksana. Di sinilah pendidikan yang bermakna itu lahir, bukan hanya mencetak anak yang cerdas secara intelektual, tetapi juga anak yang tangguh secara mental dan sadar secara moral dalam menggunakan teknologi.
Kini saatnya mengubah narasi dari “generasi stroberi” menjadi “generasi tangguh digital”. Perubahan itu dimulai dari ruang kelas, dari kebijakan sekolah, dan dari keberanian guru untuk mengubah pendekatan. Dengan kurikulum yang membuka ruang eksplorasi, pengalaman belajar yang memberi tantangan, dan suasana yang menguatkan karakter, akan lahir generasi pembelajar seumur hidup yang tidak hanya cakap dalam teknologi, tetapi juga kuat menghadapi hidup yang penuh dinamika. Di era koding dan KA, inilah kesempatan emas untuk membangun generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga tahan banting, bijak, dan penuh kesadaran.
Tidak ada komentar