Menulis di Tengah Duka: Sebuah Keterhubungan yang Menguatkan
Senin (26/06/2025), rumah kami dipenuhi suasana duka. Ayah mertua saya telah berpulang ke Rahmatullah. Udara di rumah berat oleh tangis dan doa yang bertalu-talu. Di tengah kesibukan menerima pelayat, mempersiapkan segala sesuatu untuk prosesi peristirahatan terakhir, telepon saya tiba-tiba berdering. Di layar terpampang nama, Kepala SMAN 11 Wajo.
Tanpa berpikir panjang, saya mengangkatnya. Di ujung telepon, suara beliau terdengar hangat dan bersahaja, menyampaikan maksud yang langsung mengenai hati. Beliau mengundang saya menjadi narasumber dalam workshop penulisan buku di sekolah yang beliau pimpin. Meski kepala saya masih penuh kabut, dan batin saya belum sepenuhnya bisa fokus, saya langsung menjawab, "Insya Allah, saya bersedia." Jawaban itu muncul begitu saja, tanpa kalkulasi. Mungkin karena saya tahu, dalam hidup, panggilan untuk berbagi tidak selalu datang di waktu yang ideal. Tapi bisa jadi, justru datang di waktu yang paling dibutuhkan.
Beberapa saat setelah menutup telepon, saya duduk diam. Merenung. Satu sisi hati saya masih tertambat pada duka, tapi sisi lain tiba-tiba seperti diterangi oleh cahaya hangat. Saya merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan undangan ini. Dan benar saja. Ketika kemudian saya mengingat-ingat, saya tercengang. Tanggal dan bulan kelahiran beliau ternyata sama persis dengan ayah mertua saya yang baru saja meninggal. Sebuah kebetulan yang terasa begitu menyentuh.
Tak berhenti di situ, saya menemukan bahwa saya dan beliau ternyata lahir di tahun yang sama. Keterhubungan yang lebih dalam lagi. Dua generasi yang memiliki simpul waktu yang sama. Dalam hati saya bergumam, barangkali ini cara semesta menunjukkan bahwa hidup terus berputar, bahwa satu jiwa mungkin telah berpulang, tapi jejak dan energi kehidupan itu tetap beresonansi melalui orang lain.
Ini adalah sebuah kebetulan yang terlalu dalam untuk dianggap hanya kebetulan. Seolah-olah, di balik undangan itu, ada pesan simbolik yang sedang dikirim semesta. Saya mulai melihat peristiwa ini bukan lagi sekadar permintaan menjadi narasumber. Bukan pula sekadar panggilan untuk berbicara soal buku. Ini seperti panggilan untuk menyambung kehidupan. Ketika satu jiwa pergi, ada jiwa lain yang menjadi pengingat, bahwa hidup terus berjalan. Dan tulisan adalah salah satu cara paling abadi untuk menjaga agar sesuatu tetap hidup.
Hari pelaksanaan workshop pun tiba. Saya hadir sesuai janji. Meski duka masih menggantung di balik senyum yang saya paksakan, saya menata niat sebaik mungkin. Saya tidak ingin datang setengah hati. Saya ingin membawa sesuatu yang utuh yakni pengalaman, semangat, dan kepercayaan bahwa menulis bisa menjadi jembatan bagi siapa pun yang ingin bertumbuh.
Ruangan tempat workshop berlangsung sederhana, tapi auranya luar biasa. Para peserta, sebagian besar guru, tampak antusias. Saya membuka sesi dengan cerita personal tentang bagaimana menulis telah menjadi bagian penting dalam hidup saya, dan bagaimana menulis bisa menjadi ruang untuk berdamai dengan kehilangan, membingkai pengalaman, serta merayakan kehidupan.
Mereka menyimak, tidak hanya dengan telinga, tapi dengan hati. Saya bisa melihat betapa setiap kalimat yang saya ucapkan seperti mengetuk pintu dalam diri peserta. Beberapa mencatat bahkan dos makanan pun dijadikan media catatan. Beberapa mengangguk, dan beberapa mulai bertanya tentang bagaimana memulai, bagaimana menyusun ide, dan bagaimana mengatasi keraguan untuk menulis.
Saya tidak datang membawa teori-teori rumit. Saya hanya datang membawa solusi atas masalah yang sering dihadapi ketika akan menulis. Saya datang membawa keyakinan, bahwa setiap orang punya cerita. Dan setiap cerita yang ditulis dengan jujur adalah cahaya bagi pembaca.
Yang paling membuat saya tersentuh adalah komitmen peserta di akhir sesi. Meski penawaran awal berupa antologi bersama, bukan buku solo, tak satu pun dari mereka meremehkan prosesnya. Mereka justru menyambut tantangan itu dengan semangat. Mereka ingin karya mereka dibaca. Mereka ingin kisah mereka menjadi bagian dari warisan pengetahuan. Dan mereka percaya, menulis buku adalah langkah awal untuk itu.
Tidak ada sesi foto bersama di akhir kegiatan. Tapi bagi saya, itu bukan kehilangan. Justru sebaliknya, yang tertinggal dalam benak saya lebih kuat dari sekadar gambar digital. Saya menyimpan kenangan tentang semangat yang tak bisa dibingkai kamera. Semangat yang menggerakkan. Semangat yang lahir dari keyakinan bahwa setiap guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga narasi kehidupan.
Di tengah duka, saya mendapatkan kekuatan. Keterhubungan yang tak sengaja saya temukan antara ayah mertua dan kepala sekolah itu menjadi penanda bahwa kehidupan punya cara misterius untuk mengikat makna. Menulis adalah cara kita memberi bentuk pada makna itu. Agar tidak hilang. Agar tetap hidup.
Saya ingin berkata kepada siapa pun yang mungkin sedang menunda-nunda untuk menulis. Jangan tunggu sempurna. Jangan tunggu lapang. Mulailah dari sekarang. Menulislah dari celah-celah kesibukan. Menulislah dari titik-titik perasaan yang tercecer. Karena ketika tulisan itu selesai, anda akan tahu, bahwa anda baru saja menyelamatkan diri anda dari kepunahan.
Terkadang, menulis adalah cara kita merawat luka. Kadang ia menjadi cara kita menguatkan orang lain. Tapi lebih sering dari yang kita sadari, menulis adalah bentuk paling sunyi dari cinta. Cinta kepada hidup, cinta kepada pengalaman, cinta kepada orang-orang yang pernah singgah dan mengubah kita.
Dan hari itu, di Batas Senja. Bersama UPT SMAN 11 Wajo, saya kembali disadarkan bahwa menulis bukan hanya aktivitas personal. Ia adalah gerakan kolektif, ia adalah napas zaman. Karena itu, bila Anda punya kisah yang menggantung dalam pikiran, punya pelajaran hidup yang belum sempat diceritakan, jangan diamkan lebih lama. Bukalah lembar pertama. Tulis satu paragraf. Lalu lanjutkan. Dunia butuh cerita Anda.
Saya percaya, tak ada kisah yang sepele. Dan tak ada penulis yang lahir tanpa keberanian untuk mulai. Maka mulailah. Sekarang. Sebab barangkali, di balik setiap tulisan yang Anda selesaikan, ada jiwa lain yang sedang dikuatkan.
Peristiwa kecil seperti kesamaan tanggal lahir mungkin bagi sebagian orang tidak bermakna. Tapi bagi saya, itu adalah simbol keterhubungan. Bahwa ada jejaring jiwa yang saling bersinggungan dan saling menguatkan. Dan menulis adalah cara kita untuk terus terhubung, bahkan ketika suara sudah tak terdengar dan wajah sudah tak terlihat.
Kini, setelah peristiwa ini, saya makin yakin bahwa menulis bukan pekerjaan iseng. Ia adalah tugas mulia yang tidak semua orang berani memulai. Tapi ketika seseorang mulai menulis, ia akan merasakan bahwa setiap kata adalah jembatan, dan setiap paragraf adalah doa yang panjang. Menulis adalah keberanian untuk hidup dua kali. Satu di dunia nyata, satu lagi dalam kenangan orang lain.
Dan saya ingin mengajak siapa saja yang membaca ini. Jangan menunggu duka atau kehilangan untuk mulai menulis. Mulailah dari hal kecil. Dari rasa syukur, dari pengalaman sehari-hari, dari pertanyaan yang mengusik malam-malammu. Tulis apa pun yang jujur dari hatimu. Karena di situlah letak kekuatan tulisan, kejujuran yang menggerakkan.
Saya percaya, di setiap sekolah, di setiap kampung, dan di setiap keluarga, ada ribuan cerita yang belum sempat dituliskan. Jangan biarkan mereka mati bersama waktu. Hidupkan mereka di halaman-halaman buku, agar suatu hari nanti, anak cucu kita tahu bahwa kita pernah ada, pernah merasa, dan pernah berjuang. Dan untuk itu, "MENULISLAH".
Tidak ada komentar