Sekolah Hebat Itu Tidak Melarang HP
Suatu siang dalam sebuah kegiatan Workshop yang dilaksanakan di SMA Negeri 4 Wajo, suasana ruang pertemuan mendadak hening ketika narasumber, melemparkan pertanyaan yang sederhana namun menggelitik kesadaran semua yang hadir.
“Apakah di sekolah ini dilarang membawa HP?”
Pertanyaan itu melayang di udara, menantang ruang pikir peserta workshop yang mayoritas adalah guru.
Dalam banyak forum pendidikan, pertanyaan tentang HP kerap menimbulkan perdebatan. Sebagian menganggapnya sebagai sumber gangguan, sebagian lagi melihatnya sebagai alat bantu belajar. Tapi di SMA Negeri 4 Wajo, jawaban para guru datang tanpa ragu. Mereka menjawab serempak, “Tidak.”
Reaksi narasumber pun begitu cepat dan tulus. Ia tersenyum, matanya berbinar, dan dengan suara yang tak disangka-sangka penuh kekaguman, ia berkata, “Hebat. Sekolah ini hebat.”
Kalimat itu terdengar sederhana, namun sarat makna. Ucapan itu seperti pujian yang merangkum seluruh filosofi pendidikan yang sedang diperjuangkan oleh para pendidik di sekolah tersebut. Bahwa membolehkan peserta didik membawa HP bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan bagian dari keberanian untuk meretas sekat lama yang membatasi ruang belajar generasi baru.
Saya masih ingat, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ketika HP juga dilarang dibawa oleh peserta didik di sekolah ini. Saya memahami kekhawatiran saat itu seperti penyalahgunaan, gangguan, dan distraksi. Tapi saya juga menyadari potensi besar HP sebagai alat bantu pembelajaran.
Dengan dalih bahwa HP dibutuhkan pada pelajaran TIK, saya ungkapkan argumen agar peserta didik diperbolehkan membawa HP ke sekolah. Perjuangan itu tidak mudah, tapi akhirnya diterima. Peserta didik pun mulai bisa membawa HP secara terbuka ke ruang kelas.
Ketika kemudian kebijakan nasional menghapus mata pelajaran TIK dari struktur kurikulum dan menggantinya menjadi Bimbingan TIK, sehingga jarang melakukan tatap muka klasikal di kelas, saya tetap mengusulkan agar peserta didik tidak kehilangan hak akses terhadap teknologi. Saya terus meyakinkan bahwa HP bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jendela ilmu dan inovasi.
Saya mulai membangun branding sekolah ini sebagai pelopor IT di Kabupaten Wajo. Itu dibuktikan dengan keberhasilan melaksanakan PPDB online pertama di Kabupaten Wajo, menggelar Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) hanya 1 sesi dengan jumlah peserta lebih 150 orang, dan bahkan lima tahun sebelum masa pandemi COVID-19, kami sudah menjalankan pembelajaran berbasis Google Classroom.
Semua capaian itu tidak lahir dari kebetulan, tetapi dari konsistensi dan keberanian mencoba. SMA Negeri 4 Wajo bukanlah sekolah yang besar dari segi fasilitas fisik. Namun dari sisi visi, semangat, dan inovasi, sekolah ini tumbuh menjadi salah satu pionir dalam transformasi pembelajaran digital di Sulawesi Selatan. Kami belajar bahwa mengizinkan HP bukan sekadar keputusan teknis, tetapi bagian dari strategi besar menyiapkan generasi masa depan yang mampu hidup dan belajar di era digital.
Budaya tersebut tidak lahir begitu saja. Ia merupakan hasil dari proses panjang, jatuh bangun, dan pembelajaran kolektif. Sekolah ini menciptakan beragam inovasi digital yang tidak hanya mempermudah komunikasi antara sekolah dan orang tua, tetapi juga memacu kreativitas peserta didik dalam mengikuti berbagai event, kompetisi, dan proyek-proyek akademik di ruang digital. Inovasi-inovasi seperti Sikola, Asikolapi, Sikelas, dan program Semangat yang mendorong partisipasi peserta didik dalam lomba daring nasional setiap pekan, telah mengubah paradigma belajar menjadi sesuatu yang aktif, adaptif, dan produktif.
Di tengah sorotan publik yang seringkali hanya menampilkan sisi negatif penggunaan HP di kalangan remaja, SMA Negeri 4 Wajo justru menunjukkan wajah lain dari realitas tersebut. Di sekolah ini, HP bukanlah alat gangguan, tapi jendela ilmu. Ia bukan alat untuk kabur dari pelajaran, melainkan medium untuk masuk lebih dalam ke dunia pengetahuan. Peserta didik diajak untuk memanfaatkan HP sebagai sumber belajar, alat dokumentasi, instrumen kreativitas, dan bahkan sebagai sarana untuk membangun portofolio akademik pribadi.
Tentu saja, pendekatan ini menuntut kerja keras dari guru dan pihak sekolah. Tidak mudah mengelola sekolah yang membolehkan HP tanpa sistem kontrol yang represif. Tapi SMA Negeri 4 Wajo memilih jalan yang berani, bukan dengan pelarangan, tetapi dengan pembiasaan. Bukan dengan pengawasan ketat, tetapi dengan pembimbingan sadar. Melalui integrasi teknologi dalam pembelajaran, pembiasaan reflektif, dan pemodelan dari guru, peserta didik diajak untuk menyadari bahwa alat sekecil HP memiliki potensi besar jika digunakan dengan bijak.
Keberhasilan pendekatan ini bukan hanya dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, tetapi juga dengan berbagai pencapaian di tingkat lokal dan nasional. Sekolah ini telah menorehkan ratusan prestasi dalam kompetisi digital, memperoleh pengakuan dari berbagai pihak, dan bahkan menjadi rujukan bagi sekolah-sekolah lain dalam pengelolaan pembelajaran berbasis teknologi.
Namun, pencapaian terbesarnya bukanlah pada jumlah medali atau piagam, melainkan pada tumbuhnya budaya belajar yang sehat, merdeka, dan bertanggung jawab. Peserta didik di sekolah ini tidak takut salah, karena mereka dibiasakan untuk bereksplorasi. Mereka tidak hanya sekadar menerima informasi, tetapi juga memproduksi karya. Mereka tidak hanya mengonsumsi teknologi, tetapi juga menciptakan sesuatu darinya.
Ucapan “hebat” dari narasumber di workshop itu sejatinya adalah pengakuan terhadap semangat perubahan yang sedang dibangun. Bahwa pendidikan yang baik bukanlah yang paling ketat mengatur, tapi yang paling efektif membina. Bukan yang paling banyak melarang, tapi yang paling dalam memaknai kepercayaan. Di tengah tantangan dunia digital yang terus berubah, SMA Negeri 4 Wajo membuktikan bahwa kunci keberhasilan pendidikan ada pada keberanian untuk berubah dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan zaman.
Kebijakan tidak melarang HP hanyalah puncak dari gunung es filosofi pendidikan yang jauh lebih dalam. Ini adalah simbol keberanian untuk merdeka dari ketakutan, dan sekaligus bukti bahwa ketika sekolah memutuskan untuk percaya pada peserta didiknya, maka keajaiban bisa terjadi.
Sekolah hebat bukanlah yang paling kaya akan aturan, melainkan yang paling kaya akan nilai. Dan nilai tertinggi dalam dunia pendidikan adalah kepercayaan. Karena dalam kepercayaanlah, tumbuh karakter. Dalam kepercayaanlah, berkembang kreativitas. Dan dalam kepercayaanlah, pendidikan menemukan wajah manusianya yang paling sejati
Tidak ada komentar