Mengajar Tanpa RPP: Pembelajaran Tanpa Makna
Masuk ke kelas, lalu berbicara. Terdengar sederhana. Tapi siapa bilang mengajar sesederhana itu?
Mengajar bukan hanya soal menyampaikan isi buku atau menuntaskan silabus. Ia adalah seni menjangkau akal dan menyentuh nurani. Ia adalah perjalanan bersama, bukan sekadar perjalanan menuju nilai, tetapi menuju makna yang bertumbuh dari dalam diri murid itu sendiri.
Jika mengajar hanya dimulai ketika guru masuk kelas dan membuka buku, maka sesungguhnya, proses itu telah kehilangan pijakan dasarnya. Sebab, pembelajaran yang sejati dimulai jauh sebelum itu, dalam senyap ruang perencanaan yang penuh kesungguhan.
Mengajar yang bermakna lahir dari:
(1) merumuskan tujuan pembelajaran yang lebih dari sekadar “menguasai materi”, melainkan memahami konsep dan mengaitkannya dengan realitas hidup murid,
(2) membaca kesiapan murid bukan hanya secara kognitif, tetapi juga afektif dan sosial,
(3) menyusun materi yang tidak hanya padat, tapi juga relevan dan menantang,
(4) merancang pengalaman belajar yang mendorong eksplorasi, refleksi, dan dialog,
(5) dan tentu saja, membangun sistem asesmen yang tidak sekadar mengukur, tetapi menumbuhkan.
Itulah ruh dari pendekatan pembelajaran mendalam. Mendorong murid untuk tidak sekadar tahu apa, tetapi juga mengapa, bagaimana, dan apa dampaknya bagi hidup mereka. Belajar bukan lagi aktivitas hafalan, tetapi proses internalisasi nilai, pemaknaan, dan transformasi cara berpikir.
Tanpa rencana, tentu saja kita masih bisa mengajar. Ambil buku, bacakan, jelaskan, selesai. Secara prosedural, itu tetap disebut mengajar. Namun apakah itu cukup? Apakah murid hanya butuh guru yang hadir fisiknya, atau justru mereka mendamba sosok yang hadir secara utuh: pikiran, jiwa, dan niat?
Lihatlah, kelas tanpa perencanaan yang mendalam mudah sekali berubah menjadi ladang teguran:
“Hei, perhatikan ya!”
“Kamu, dengarkan!”
“Belakang, diam dulu!”
Suasana pun penuh komando dan kejengkelan. Lelah. Dan pada akhir semester, keluhannya selalu sama: “Sudah diajar, tapi tetap tak paham juga.”
Barangkali bukan karena mereka tak mampu belajar, tapi karena kita tak sungguh-sungguh mengajak mereka belajar dengan mendalam.
Tidak ada komentar