Header Ads

ad728
  • Sekilas Berita

    Leviosa dalam Kabut Ingatan


    Senin 21 April 2025, pagi itu cerah. Langit begitu lapang, seolah memberi ruang bagi siapa pun yang ingin menengadah dan mengadu. Tapi mataku tak lagi sekuat dulu. Pandangan yang biasanya tajam, pagi itu buram. Ada yang mengganggu penglihatanku, sesuatu yang besar terpampang di halaman SMA Negeri 4 Wajo, sebuah baliho bertuliskan “ANGKATAN 33 – LEVIOSA”

    Sekilas, mungkin tampak seperti sekadar sambutan penuh harapan untuk para alumni 2025 yang akan segera meninggalkan gerbang sekolah. Tapi bagiku, itu lebih dari sekadar tulisan. Itu adalah pernyataan. Sebuah klaim tentang sejarah, tentang jejak panjang yang tak boleh dilupakan.

    Ingatan langsung mengarah ke masa awal sebagaimana yang tertulis dalam sejarah Kampus Cemara. Tahun 1987, sekolah ini pertama kali berdiri. Masih berseragam sederhana, masih dengan semangat bertahan sebagai sekolah swasta. Para pendidik saat itu bukan hanya mengajar, tapi membangun dari nol, menganyam harapan dari gedung seadanya, dari ruang-ruang kelas yang belum lengkap, dari papan tulis yang dipinjamkan.

    Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1992, SMA Negeri 4 Wajo resmi berstatus negeri. Sebuah langkah besar. Dan sejak itulah kita menyusun angkatan, bukan hanya sebagai penanda waktu, tapi sebagai warisan resmi yang tertulis di dalam dokumen, di dalam ingatan lembaga, dan dalam setiap ijazah yang diserahkan.

    Jika dihitung sejak status negeri (seperti angka yang terus disematkan dalam perayaan milad berdasarkan kesepakatan tahun 2009), maka angkatan pertama adalah mereka yang masuk di tahun 1992. Maka, mereka yang masuk tahun 2022 adalah Angkatan ke-31, bukan ke-33.

    Lalu dari mana datangnya angka 33?

    Mungkin ada yang menghitung sejak masa swasta. Jika iya, maka 1987 akan menjadi pijakan awal. Dengan begitu, 2022 menjadi Angkatan ke-36, bukan 33. Lagi-lagi keliru. Keliru bukan hanya dalam angka, tapi dalam menghargai sejarah.

    Dan ironinya, nama yang dipilih adalah “Leviosa”, mantra dari dunia sihir yang berarti “melayang”, “naik ke atas dengan ringan”. Indah memang. Menggambarkan harapan, keringanan jiwa, dan impian untuk membubung tinggi tanpa beban. Tapi bagaimana bisa melayang, jika dasar pijakan pun tak kita pastikan?

    Saya hanya bisa berdiri diam pagi itu. Menatap baliho yang berdiri megah. Saya tahu, mereka yang menulis itu tidak bermaksud meremehkan sejarah. Tapi ketidaksengajaan yang dibiarkan adalah ketidaktahuan yang diwariskan.

    Sekolah ini bukan sekadar institusi. Ia adalah rumah dari waktu. Dari lembar demi lembar tahun ajaran yang terjalin. Ia punya akar—akar yang tertanam dalam sejak masa swasta, menguat sejak menjadi negeri, dan terus tumbuh dengan darah keringat banyak orang.

    Pagi itu, mataku kabur. Tapi justru kaburnya penglihatan ini membuatku makin tajam melihat satu hal, sejarah yang tidak dijaga akan cepat hilang, dan kebesaran yang dibangun tanpa ketelitian akan mudah runtuh.

    Untuk anak-anak “Leviosa”, semoga kalian tetap bisa terbang tinggi. Tapi ingatlah selalu, yang membuat kita melayang bukan karena nama, tapi karena kita berpijak pada kebenaran.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728