Antara Edukasi dan Etika: Saat Gambar Sistem Reproduksi Jadi Soal Ujian
Ilustrasi Siswa sedang ujian, Guru buat konten
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini terasa berbeda. Publik dikejutkan oleh video viral dari Kabupaten Bandung Barat yang memperlihatkan seorang guru biologi memberi soal ujian dengan instruksi kontroversial. Peserta didik diminta menggambar alat kelamin mereka sendiri. Tak butuh waktu lama, video itu memicu kegaduhan di media sosial dan akhirnya ditindaklanjuti oleh Dinas Pendidikan serta Gubernur Jawa Barat.
Topik sistem reproduksi memang merupakan bagian integral dari kurikulum biologi tingkat SMA. Namun, cara menyampaikan materi ini membutuhkan sensitivitas tinggi. Ketika penyampaian menyentuh ranah personal dan psikologis tanpa pendekatan yang tepat, risiko pelanggaran etika pendidikan dan norma sosial pun membayangi.
Saya pun teringat pada pengalaman pribadi semasa kuliah di jurusan pendidikan biologi. Saat ujian semester, dosen kami memberi soal yang meminta kami menggambar sistem reproduksi lawan jenis dan menjelaskan bagian-bagiannya secara ilmiah. Ada kecanggungan, tentu. Tapi suasana tetap kondusif dan profesional. Tak ada canda atau nuansa seksual. Yang hadir justru rasa hormat atas kompleksitas tubuh manusia. Kami sebagai mahasiswa dewasa, sudah berada pada fase intelektual yang mampu membedakan mana yang ilmiah dan mana yang pribadi.
Kondisi ini berbeda jauh dengan situasi di ruang kelas SMA. Remaja masih berada pada tahap pencarian jati diri dan pematangan psikologis. Instruksi yang meminta mereka menggambar organ reproduksi milik sendiri bisa menjadi pengalaman yang membingungkan, menakutkan, bahkan berpotensi traumatis. Di titik inilah penting untuk menyadari bahwa dalam pendidikan, bukan hanya apa yang diajarkan yang penting, tapi juga bagaimana dan kapan itu diajarkan.
Pendidikan sistem reproduksi bukanlah ruang untuk mempermalukan atau menciptakan kecanggungan. Justru sebaliknya, ia harus menjadi ruang pemberdayaan, membantu peserta didik mengenal tubuhnya secara sehat, memahami fungsi dan tanggung jawabnya, serta menumbuhkan sikap hormat terhadap dirinya dan orang lain. Namun, semua itu hanya dapat terwujud jika pendekatannya dilakukan secara ilmiah, komunikatif, dan empatik.
Di negara-negara maju, pendidikan kesehatan reproduksi diberikan secara bertahap sejak usia dini. Dimulai dengan pengenalan bagian tubuh, lalu perlahan mengarah pada konsep relasi sehat, persetujuan, hingga tanggung jawab. Semua dilakukan dalam bingkai etika dan sesuai perkembangan usia. Di Indonesia, meskipun arah kurikulum sudah mengarah ke sana, pelaksanaannya masih penuh tantangan. Kurangnya pelatihan guru, belum adanya panduan teknis yang komprehensif, serta tekanan sosial yang menganggap pembahasan soal tubuh sebagai hal yang tabu.
Kondisi ini berisiko besar. Ketika sekolah tidak menyediakan ruang dialog yang sehat tentang tubuh dan seksualitas, peserta didik akan mencarinya dari sumber lain yang sering kali tidak kredibel dan menyesatkan. Di sinilah guru memegang peran sentral, bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator ruang belajar yang aman, inklusif, dan penuh penghargaan terhadap martabat siswa.
Peristiwa yang terjadi di Bandung Barat ini bukan semata-mata soal kesalahan metode individu, tapi juga cerminan betapa sistem pendidikan kita masih membutuhkan penyempurnaan. Kita perlu menata ulang kebijakan, memperkuat pelatihan guru, dan membangun dialog terbuka antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Hanya dengan itu, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya cerdas secara konten, tapi juga bijak secara pelaksanaan.
Pengalaman saya saat kuliah menjadi pengingat penting bahwa tubuh manusia bukanlah sesuatu yang tabu. Ia adalah bagian dari keajaiban penciptaan yang patut dihormati dan dipahami secara utuh. Namun, penghormatan itu baru tumbuh ketika disampaikan dalam suasana belajar yang aman, etis, dan penuh tanggung jawab.
Hari Pendidikan Nasional bukan hanya momen perayaan, tetapi juga waktu refleksi. Apakah sistem kita sudah benar-benar mendidik, atau justru tanpa sadar melukai? Pendidikan tentang tubuh dan reproduksi adalah hak setiap anak, tapi hak itu hanya bermakna jika penyampaiannya dilakukan dengan empati, ilmu, dan etika yang kuat. Karena dalam pendidikan, cara sering kali menentukan makna lebih dari sekadar isi.
Tidak ada komentar