16 Jam Mengajar: Nafas Baru bagi Guru, Ruang Tumbuh bagi Pendidikan
Beberapa hari yang lalu, sebuah angin perubahan bertiup dari ruang sidang Komisi X DPR RI. Dalam rapat kerja bersama, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan sebuah kebijakan yang tak hanya mengejutkan, tetapi juga menyejukkan. Mulai tahun ini, guru cukup mengajar 16 jam dalam sepekan. Bukan pengurangan beban semata, tapi pembukaan jalan baru menuju pemaknaan ulang profesi guru. Delapan jam sisanya? Dialokasikan untuk hal-hal bimbingan konseling peserta didik, pelatihan pengembangan diri, dan keterlibatan aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan.
Ini bukan sekadar pengurangan beban kerja. Ini adalah penataan ulang nafas, ritme, dan ruh profesi guru. Karena guru bukan hanya pengajar. Ia pembimbing, pembelajar, dan penjaga nadi moral bangsa. Kebijakan ini seperti mengembalikan sepotong waktu yang lama raib, waktu yang dibutuhkan guru untuk lebih hadir, lebih memahami, dan lebih bertumbuh.
Selama bertahun-tahun, standar 24 jam mengajar per minggu telah menjadi simbol ketekunan sekaligus kelelahan. Banyak guru yang harus berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain, dari pagi hingga senja, dengan energi yang kian menipis. Semua itu dilakoni demi memenuhi beban jam dan tuntutan administratif. Di tengah kepadatan itu, kesempatan untuk menyentuh sisi personal peserta didik, mengikuti pelatihan bermakna, atau menyumbang tenaga di masyarakat, menjadi kemewahan yang sulit diraih.
Kini, delapan jam diberikan bukan dalam bentuk waktu kosong, tetapi sebagai ruang tumbuh. Ruang untuk guru mendengarkan peserta didik yang sedang goyah, menguatkan yang nyaris menyerah, dan menuntun yang mulai kehilangan arah. Ruang untuk guru menjadi konselor, sahabat, dan pelita dalam sunyi.
Kebijakan 16 jam ini membuka ruang untuk bernafas, sekaligus berbenah. Dengan waktu tambahan untuk bimbingan konseling, guru kini diberi amanah lebih untuk hadir bukan hanya di depan kelas, tapi juga di samping peserta didik mendengarkan keresahan, menenangkan kegelisahan, dan menuntun langkah mereka yang sedang mencari arah. Di era di mana tekanan psikologis dan sosial pada anak semakin kompleks, guru sebagai pembimbing menjadi kebutuhan yang mendesak.
Bukan hanya peserta didik yang bertumbuh, guru pun perlu tumbuh. Itulah mengapa kebijakan ini juga memberi ruang bagi guru untuk mengikuti pelatihan. Kompetensi pedagogik bukanlah titik akhir, tetapi titik awal yang terus diperbarui. Teknologi, metodologi, hingga pendekatan berbasis karakter membutuhkan penyegaran dan penguatan. Dan negara, melalui kebijakan ini, seolah berkata: “Kami ingin guru terus belajar.” Bahkan, Kemendikdasmen menegaskan bahwa kini wajib ada satu hari dalam sepekan bagi guru untuk belajar. Belajar bukan karena kurang tahu, tapi karena ingin lebih tahu. Karena hanya guru yang terus belajar, yang mampu menginspirasi murid untuk tidak pernah berhenti belajar.
Lalu, ada satu hal yang patut disorot dalam kebijakan ini, yaitu mendorong keterlibatan guru dalam organisasi sosial kemasyarakatan. Ini adalah pengakuan bahwa pendidikan sejati tak pernah terpisah dari masyarakatnya. Ketika guru terlibat aktif dalam komunitas, mereka tak hanya memahami konteks tempat muridnya bertumbuh, tapi juga menjadi teladan hidup dari nilai-nilai kepemimpinan, gotong royong, dan pengabdian.
Namun, sebaik apa pun kebijakan, ia hanya akan hidup bila dijalankan dengan pemahaman dan kesungguhan. Pemerintah harus hadir dengan panduan pelaksanaan yang rinci, sistem monitoring yang adil, dan dukungan pelatihan yang merata. Sekolah perlu menata ulang kultur kolaboratif agar alokasi waktu tidak hanya menjadi formalitas. Dan masyarakat, perlu membuka diri untuk melihat guru sebagai lebih dari sekadar penyampai materi, melainkan sebagai sosok yang layak dipercaya mendampingi anak-anak kita menemukan jati dirinya.
Kita sedang berdiri di titik penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Ketika beban 24 jam dipangkas menjadi 16, kita tak sedang mengurangi peran guru. Justru sebaliknya, kita sedang memperluas peran itu agar menjadi lebih utuh. Karena pendidikan bukan hanya tentang seberapa banyak waktu guru mengajar, tetapi seberapa dalam mereka mampu hadir dalam hidup murid-muridnya.
Ruang itu juga untuk belajar. Karena seorang guru yang tak lagi belajar, akan kesulitan membangkitkan semangat belajar. Satu hari dalam sepekan, kini bisa menjadi waktu khusus untuk menimba ilmu baru, mengikuti pelatihan berbasis praktik, atau sekadar berkontemplasi atas apa yang sudah diajarkan. Sebab dalam dunia pendidikan, refleksi adalah bentuk tertinggi dari pembelajaran.
Tidak kalah penting, alokasi waktu ini mengakui pentingnya keberadaan guru di tengah masyarakat. Kegiatan sosial kemasyarakatan bukan hanya tambahan, tetapi bagian dari misi pendidikan itu sendiri. Seorang guru yang memahami dinamika komunitas, akan lebih peka terhadap tantangan yang dihadapi peserta didik di luar sekolah.
Tentu, transformasi ini butuh kesiapan sistem. Supervisi dan kebijakan turunan harus berpihak pada esensi, bukan hanya pada prosedur. Kepala sekolah, pengawas, hingga pemangku kebijakan daerah perlu memahami bahwa kebijakan ini bukan tentang “pengurangan beban kerja,” tapi tentang pemulihan makna mendidik.
Keputusan ini pun menjadi gema nyata dari Asta Cita ke-4 Presiden Prabowo Subianto, membangun sumber daya manusia unggul. Ini bukan janji kosong. Pemerintah menargetkan 806.000 guru tersertifikasi melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) di tahun 2025, menaikkan tunjangan sertifikasi, serta menyediakan beasiswa bagi guru yang belum berkualifikasi S1 atau D-IV. Artinya, selain diberi waktu, guru juga diberi daya.
Kebijakan ini memberi sinyal jelas bahwa kualitas pendidikan tak bisa hanya diukur dari seberapa banyak materi yang disampaikan, tetapi dari seberapa dalam guru memahami peserta didiknya, dan seberapa luas guru mengembangkan dirinya.
Dengan guru yang punya waktu, peserta didik punya harapan lebih. Karena di balik setiap jam yang dikurangi dari beban mengajar, ada pintu yang terbuka bagi kehadiran lebih utuh seorang pendidik, yang tak sekadar menyampaikan pelajaran, tapi juga menyalakan kehidupan.
Dengan ruang belajar yang lebih manusiawi, dan waktu yang lebih bermakna, guru kini punya kesempatan untuk menjadi lebih dari sekadar pengajar, menjadi pembimbing, pembelajar, dan pilar masyarakat. Dan ketika guru tumbuh, maka pendidikan pun akan menemukan kembali jiwanya.
Tidak ada komentar